Meninggalnya Verrys Yamarno yang ditemukan
telah tak bernyawa di kamar kosnya di Jalan Kramat V, Kelurahan Kenari,
Senen, Jakarta Pusat, Senin, 12 Januari 2015, sontak mengingatkan kita
pada sosok kecil Verrys yang memerankan Mahar nan kreatif dalam lakon
film Laskar Pelangi yang fenomenal itu.
Terkenanglah kita pada Mahar kecil yang ke mana-mana selalu membawa radio untuk mendengarkan musik jazz kesukaannya. Lantaran lagaknya yang eksentrik itulah, ibu guru Muslimah di SD Muhammadiyah Belitong menunjuknya menjadi sutradara sebuah pertunjukan untuk disertakan dalam sebuah karnaval 17an di daerahnya.
Ya, ya... mengenangkan Verrys adalah juga mengenangkan Mahar yang miskin dan bersekolah di sebuah SD Muhammadiyah di pulau Belitong, sebuah sekolah dengan keadaan yang serba kekurangan dan nyaris roboh.
Lantaran kondisi sekolah yang memprihatinkan itulah, tidak ada orang tua kaya yang mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah itu. Hanya orang tua miskin yang mau menyekolahkan anaknya di sana karena sekolah ini memang tidak memungut iuran sedikitpun. Hingga Depdikbud Sumsel memperingatkan hendak menutup sekolah itu jika siswa yang mendaftar tidak mencapai sepuluh orang.
Sampai waktu yang ditentukan baru sembilan orangtua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah itu. Pak Harfan yang bernama lengkap Ki Agus Harfan Efendy Noor, selaku kepala sekolah sudah bersiap untuk memberikan pidato penutupan sekolah sesuai instruksi dari Pengawas Sekolah Depdikbud Sumsel.
Untunglah Harun datang menggenapi kekurangan itu. Sekolah tidak jadi ditutup karena di sekolah itu ada sepuluh orang siswa baru yang terdiri: Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani dan Harun.
Mengenangkan Mahar adalah juga membayangkan repotnya Bu Mus yang bernama lengkap Nyi Ayu Muslimah Hafsari, satu-satunya guru yang mengampu semua mata pelajaran di SD Muhammadiyah itu. Mulai dari pelajaran umum hingga keagamaan.
Meski hanya digaji 15 kilogram beras setiap bulannya Bu Mus tetap menjalankan tugasnya dengan penuh keikhlasan. Bersama Pak Harfan Bu Mus berjuang mati-matian untuk tetap menjaga keberlangsungan sekolah itu. Untuk mencukupi kebutuhan pribadi, Bu Mus menerima jahitan baju, sedangkan Pak Harfan mengolah sebidang kebun untuk menghidupi keluarganya.
Mengingat Mahar, terkenang juga pada sosok Lintang, seorang anak pesisir miskin yang harus mengayuh sepedanya sejauh 80 kilometer pulang pergi untuk merasakan nikmatnya pendidikan. Tak jarang saat melintasi rawa yang merupakan rute perjalanannya dia dihadang buaya yang sedang berjemur, namun ia tidak pernah membolos hanya karena alasan buaya.
Anak pesisir ini diceritakan sebagai anak jenius, siswa SD Muhammadiyah yang mampu mengharumkan nama sekolahnya dalam lomba cerdas cermat di kota kecamatan, dia melahap semua pertanyaan matematika tanpa menggunakan alat bantu, soal baru selesai dibacakan dengan seketika jawaban meluncur dari mulut Lintang. Dalam perlombaan itu Lintang dituduh curang oleh guru dari Sekolah PN Timah, sekolah elit yang ada di Belitong, di mana siswa yang bersekolah di sini adalah anak dari pegawai tinggi Perusahaan Negara (PN) Timah.
Perusahaan yang menguras kekayaan negeri Belitong menggunakan kapal keruk yang bekerja siang malam tanpa henti dan menghasilkan kekayaan yang melimpah bagi negara, namun orang-orang melayu Belitong masih saja terkungkung oleh jerat kemiskinan yang tidak berkesudahan. Drs. Zulfikar, guru yang berijazah dan terkenal, namun saat ditantang untuk menghitung kembali pertanyaan, sang guru sekolah kaya itu dapat dikalahkan. Hingga akhirnya sekolah miskin SD Muhammadiyah mampu menjadi jawara.
Mahar sang seniman cilik juga mampu mengharumkan nama SD Muhammadiyah untuk pertama kali dalam Karnaval 17 Agustus. Mahar menciptakan suatu koreografi indah tak tertandingi oleh peserta karnaval lainnya, walaupun untuk menciptakan karya seni tersebut Mahar mengorbankan anggota Laskar Pelangi lain yang berperan sebagai penari dengan membuat kalung dari buah aren yang gatalnya bisa berhari-hari. Melalui tangan dinginnya sekolah mereka yang hampir roboh itu mampu membawa pulang trofi jawara karnaval yang dua puluh sebelumnya selalu dipegang oleh sekolah PN Timah.
Mengingat Mahar, adalah juga membayangkan cinta monyet Ikal kepada gadis Hokian yang masih sepupu A Kiong teman sekelasnya. Cinta yang bersemi di toko kelontong “Sinar Harapan” langganan SD Muhammadiyah membeli kapur tulis secara kredit. Sayang di sayang, cinta mereka kandas lantaran A Ling harus pergi ke Jakarta untuk menemai bibinya. Cinta Ikal kepada A Ling harus berakhir karena jarak.
Mengenangkan Mahar, adalah juga mengenangkan kisah kemiskinan yang membuat Lintang si jenius dari pesisir harus meninggalkan bangku sekolah karena masalah ekonomi, lantaran ayahanya meninggal dunia sementara dia sebagai anak laki-laki tertua harus menghidupi semua kebutuhan adik-adiknya.
Rupanya, kemiskinan yang mereka lalui di dalam kisah film maupun kenyataan, juga terbawa hingga pemeran Mahar dewasa, saat dirinya telah menjadi mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta semester III ini yang diduga meninggal karena sakit.
***
Mengenangkan Mahar adalah merasai hidup yang penuh pura-pura di negeri ini. Mahar dan kawan-kawannya para pemeran Laskar Pelangi yang kala itu disanjung puja oleh banyak orang Belitong, termasuk pejabatnya, ternyata ditinggalkan dalam nestapa saat eforia film itu telah surut.
Pemeran Mahar itu harus pergi dalam kepapaan dan ketiadaan biaya bahkan untuk berobat. Kematian Mahar itulah yang kemudian membuka tabir kehidupannya yang serba kekurangan. Seperti ditulis tempo.co, kakak angkat Mahar, Jauhari, mengatakan Pemerintah Kabupaten Belitung dan Belitung Timur tidak memberikan perhatian bagi Mahar dan teman-temannya. Bahkan, hadiah dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas meledaknya film Laskar Pelangi saat itu ternyata laptop rusak.
Menurut Jauhari, saat Mahar berkunjung ke rumahnya di Sungailiat, Kabupaten Bangka, ia pernah bercerita mendapatkan laptop rusak sebagai kenang-kenangan dari SBY.
"Sambil mengeluh sakit kepala seusai kecelakaan, Varrys bercerita tentang kehidupannya yang penuh kekurangan. Laptop hadiah SBY yang rencananya buat melanjutkan pendidikan baru dipakai sebentar sudah rusak," ujar Jauhari saat dihubungi Tempo, Selasa, 13 Januari 2015.
Betapa kerapnya kita menyaksikan para pejabat atau mereka yang berkuasa mengambil peran dalam keriuhan peristiwa yang ujungnya tak lebih sebagai pencitraan belaka.
Sampai kita menjadi hafal benar dengan tabiat mereka yang selalu tampil mengambil keuntungan, bahkan saat bencana tiba.
Perginya Verrys semoga menjadi guru bagi kita sekalian, agar kita tidak terlalu memamerkan syahwat kepingin tampil dan dipuji banyak orang. Bayangkanlah, bagaimana suka-citanya Verrys dan kawan-kawan saat beroleh kesempatan kuliah di Institut Kesenian Jakarta dengan dukungan pejabat pemerintah daerah Belitong. Bayangkanlah, Verrys bakal memetik kesuksesannya sebagai pekerja film, sebagimana para tokoh dalam film Laskar Pelangi.
Selamat jalan Verrys, selamat jalan wahai pelakon, selamat bertemu kembali dengan Sang Sutradara semua kisah.sumber kompas
Terkenanglah kita pada Mahar kecil yang ke mana-mana selalu membawa radio untuk mendengarkan musik jazz kesukaannya. Lantaran lagaknya yang eksentrik itulah, ibu guru Muslimah di SD Muhammadiyah Belitong menunjuknya menjadi sutradara sebuah pertunjukan untuk disertakan dalam sebuah karnaval 17an di daerahnya.
Ya, ya... mengenangkan Verrys adalah juga mengenangkan Mahar yang miskin dan bersekolah di sebuah SD Muhammadiyah di pulau Belitong, sebuah sekolah dengan keadaan yang serba kekurangan dan nyaris roboh.
Lantaran kondisi sekolah yang memprihatinkan itulah, tidak ada orang tua kaya yang mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah itu. Hanya orang tua miskin yang mau menyekolahkan anaknya di sana karena sekolah ini memang tidak memungut iuran sedikitpun. Hingga Depdikbud Sumsel memperingatkan hendak menutup sekolah itu jika siswa yang mendaftar tidak mencapai sepuluh orang.
Sampai waktu yang ditentukan baru sembilan orangtua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah itu. Pak Harfan yang bernama lengkap Ki Agus Harfan Efendy Noor, selaku kepala sekolah sudah bersiap untuk memberikan pidato penutupan sekolah sesuai instruksi dari Pengawas Sekolah Depdikbud Sumsel.
Untunglah Harun datang menggenapi kekurangan itu. Sekolah tidak jadi ditutup karena di sekolah itu ada sepuluh orang siswa baru yang terdiri: Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani dan Harun.
Mengenangkan Mahar adalah juga membayangkan repotnya Bu Mus yang bernama lengkap Nyi Ayu Muslimah Hafsari, satu-satunya guru yang mengampu semua mata pelajaran di SD Muhammadiyah itu. Mulai dari pelajaran umum hingga keagamaan.
Meski hanya digaji 15 kilogram beras setiap bulannya Bu Mus tetap menjalankan tugasnya dengan penuh keikhlasan. Bersama Pak Harfan Bu Mus berjuang mati-matian untuk tetap menjaga keberlangsungan sekolah itu. Untuk mencukupi kebutuhan pribadi, Bu Mus menerima jahitan baju, sedangkan Pak Harfan mengolah sebidang kebun untuk menghidupi keluarganya.
Mengingat Mahar, terkenang juga pada sosok Lintang, seorang anak pesisir miskin yang harus mengayuh sepedanya sejauh 80 kilometer pulang pergi untuk merasakan nikmatnya pendidikan. Tak jarang saat melintasi rawa yang merupakan rute perjalanannya dia dihadang buaya yang sedang berjemur, namun ia tidak pernah membolos hanya karena alasan buaya.
Anak pesisir ini diceritakan sebagai anak jenius, siswa SD Muhammadiyah yang mampu mengharumkan nama sekolahnya dalam lomba cerdas cermat di kota kecamatan, dia melahap semua pertanyaan matematika tanpa menggunakan alat bantu, soal baru selesai dibacakan dengan seketika jawaban meluncur dari mulut Lintang. Dalam perlombaan itu Lintang dituduh curang oleh guru dari Sekolah PN Timah, sekolah elit yang ada di Belitong, di mana siswa yang bersekolah di sini adalah anak dari pegawai tinggi Perusahaan Negara (PN) Timah.
Perusahaan yang menguras kekayaan negeri Belitong menggunakan kapal keruk yang bekerja siang malam tanpa henti dan menghasilkan kekayaan yang melimpah bagi negara, namun orang-orang melayu Belitong masih saja terkungkung oleh jerat kemiskinan yang tidak berkesudahan. Drs. Zulfikar, guru yang berijazah dan terkenal, namun saat ditantang untuk menghitung kembali pertanyaan, sang guru sekolah kaya itu dapat dikalahkan. Hingga akhirnya sekolah miskin SD Muhammadiyah mampu menjadi jawara.
Mahar sang seniman cilik juga mampu mengharumkan nama SD Muhammadiyah untuk pertama kali dalam Karnaval 17 Agustus. Mahar menciptakan suatu koreografi indah tak tertandingi oleh peserta karnaval lainnya, walaupun untuk menciptakan karya seni tersebut Mahar mengorbankan anggota Laskar Pelangi lain yang berperan sebagai penari dengan membuat kalung dari buah aren yang gatalnya bisa berhari-hari. Melalui tangan dinginnya sekolah mereka yang hampir roboh itu mampu membawa pulang trofi jawara karnaval yang dua puluh sebelumnya selalu dipegang oleh sekolah PN Timah.
Mengingat Mahar, adalah juga membayangkan cinta monyet Ikal kepada gadis Hokian yang masih sepupu A Kiong teman sekelasnya. Cinta yang bersemi di toko kelontong “Sinar Harapan” langganan SD Muhammadiyah membeli kapur tulis secara kredit. Sayang di sayang, cinta mereka kandas lantaran A Ling harus pergi ke Jakarta untuk menemai bibinya. Cinta Ikal kepada A Ling harus berakhir karena jarak.
Mengenangkan Mahar, adalah juga mengenangkan kisah kemiskinan yang membuat Lintang si jenius dari pesisir harus meninggalkan bangku sekolah karena masalah ekonomi, lantaran ayahanya meninggal dunia sementara dia sebagai anak laki-laki tertua harus menghidupi semua kebutuhan adik-adiknya.
Rupanya, kemiskinan yang mereka lalui di dalam kisah film maupun kenyataan, juga terbawa hingga pemeran Mahar dewasa, saat dirinya telah menjadi mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta semester III ini yang diduga meninggal karena sakit.
***
Mengenangkan Mahar adalah merasai hidup yang penuh pura-pura di negeri ini. Mahar dan kawan-kawannya para pemeran Laskar Pelangi yang kala itu disanjung puja oleh banyak orang Belitong, termasuk pejabatnya, ternyata ditinggalkan dalam nestapa saat eforia film itu telah surut.
Pemeran Mahar itu harus pergi dalam kepapaan dan ketiadaan biaya bahkan untuk berobat. Kematian Mahar itulah yang kemudian membuka tabir kehidupannya yang serba kekurangan. Seperti ditulis tempo.co, kakak angkat Mahar, Jauhari, mengatakan Pemerintah Kabupaten Belitung dan Belitung Timur tidak memberikan perhatian bagi Mahar dan teman-temannya. Bahkan, hadiah dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas meledaknya film Laskar Pelangi saat itu ternyata laptop rusak.
Menurut Jauhari, saat Mahar berkunjung ke rumahnya di Sungailiat, Kabupaten Bangka, ia pernah bercerita mendapatkan laptop rusak sebagai kenang-kenangan dari SBY.
"Sambil mengeluh sakit kepala seusai kecelakaan, Varrys bercerita tentang kehidupannya yang penuh kekurangan. Laptop hadiah SBY yang rencananya buat melanjutkan pendidikan baru dipakai sebentar sudah rusak," ujar Jauhari saat dihubungi Tempo, Selasa, 13 Januari 2015.
Betapa kerapnya kita menyaksikan para pejabat atau mereka yang berkuasa mengambil peran dalam keriuhan peristiwa yang ujungnya tak lebih sebagai pencitraan belaka.
Sampai kita menjadi hafal benar dengan tabiat mereka yang selalu tampil mengambil keuntungan, bahkan saat bencana tiba.
Perginya Verrys semoga menjadi guru bagi kita sekalian, agar kita tidak terlalu memamerkan syahwat kepingin tampil dan dipuji banyak orang. Bayangkanlah, bagaimana suka-citanya Verrys dan kawan-kawan saat beroleh kesempatan kuliah di Institut Kesenian Jakarta dengan dukungan pejabat pemerintah daerah Belitong. Bayangkanlah, Verrys bakal memetik kesuksesannya sebagai pekerja film, sebagimana para tokoh dalam film Laskar Pelangi.
Selamat jalan Verrys, selamat jalan wahai pelakon, selamat bertemu kembali dengan Sang Sutradara semua kisah.sumber kompas
Advertisement
Loading...