Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM)
Pendahuluan
Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM)
merupakan salah satu bentuk inovasi pembelajaran pemberantasan buta aksara.
Selama ini pembelajaran buta aksara hanya bersifat konvensional, klasikal dan subject
oriented. Setrategi pembelajaran tersebut juga sangat membosankan, dan jauh
dari kaidah pembelajaran orang dewasa (andragogy). Dampaknya, adalah
peserta didik (baca: warga belajar) tidak termotivasi untuk belajar dan lambat
laun bubar, sehingga pada akhir pembelajaran hanya tersisa 2-4 orang. Tentunya,
jika ini terus berlanjut maka target pemerintah mencapai bebas buta aksara 100%
hingga tahun 2015 sangat mustahil tercapai. Saat ini masih terdapat 6,7 juta
tuna aksara dewasa usia 15-59 tahun, pemerintah hanya mampu menurunkan 4,43%.
Untuk mencapai target ketuntasan yang lebih baik, maka salah satu yang harus
dibenahi adalah model pembelajarannya.
Salah satu kharakterisktik
pembelajaran orang dewasa adalah bahwa orang dewasa hanya mau belajar jika apa
yang dipelajari sesuai dengan kebutuhannya, mereka mau belajar jika mereka
mendapatkan keuntungan atau manfaat dari kegiatan belajar tersebut. Hal ini
bermakna bahwa sepanjang apa yang dipelajari oleh mereka tidak menguntungkan
mereka, maka jangan harap mereka mau mengikuti program belajar yang kita susun.
Model pembelajaran pendidikan keaksaraan harus mampu menggabungkan antara
muatan materi pokok yaitu membaca, menulis dan berhitung dengan materi
ketrampilan fungsional yang sesuai dengan minat dan kebutuhan para warga
belajar. Umumnya warga belajar pendidikan keaksaraan adalah berlatar belakang
ekonomi lemah, terbelakang dan termarginalkan. Kemiskinan merupakan efek ikutan
dari penyakit utama mereka yaitu buta aksara. Ketidakmampuan dalam membaca,
menulis dan berhitung berakibat pada ketidakmampuan mereka mengakses
pembangunan. Mengapa tidak mampu mengakses pembangunan? Karena tuna aksara yang
ada pada diri mereka menyebabkan mereka malu, rendah diri dan mengasingkan diri
dari sentuhan pembangunan. Inilah yang menjadi sumber bencana, mengapa
kemiskinan semakin tinggi dan ketidakberdayaan masyarakat semakin kuat juga.
KUM sebagai terapi
KUM adalah model pembelajaran
pemberantasan dan penguatan keaksaraan warga belajar dengan menggabungkan
muatan materi pokok membaca, menulis, berhitung dengan materi penunjang yaitu
ketrampilan fungsional berbasis pada minat, kebutuhan dan potensi pasar/
peluang pasar. Model pembelajaran KUM yang demikian identik dengan model
pembelajaran pada PAUD yaitu belajar melalui bermain (learning throungh
playing), tetapi di KUM menjadi belajar dengan praktek ketrampilan langsung
(learning by practicing products). Pembelajaran orang dewasa yang lebih
menekankan kepada motorik salah satunya adalah melakukan praktek ketrampilan
sehingga menghasilkan produk tertentu misalnya dodol nangka, keripik bayam,
asinan mentimun. Muatan-muatan materi utama membaca, menulis dan berhitung,
dibelajarkan dalam kegiatan praktek ketrampilan. Mereka membaca resep, memahami
bagaimana mengukur timbangan, menulis analisis biaya produksi sampai dengan
menghitung rugi-laba atas kegiatan usaha yang dikembangkan.
Pengembangan kompetensi membaca,
menulis dan berhitung dilanjutkan kepada tongkat yang lebih tinggi, tentunya
melalui aktifitas membaca mahir, menulis lanjutan dan berhitung yang lebih
kompleks. Model KUM akan menggiring warga belajar kepada suasana belajar nyata,
karena seting pembelajaran adalah seting usaha. Produk-produk yang
dihasilkan oleh para warga belajar langsung dipasarkan, dijual di pasar
tentunya yang menjual adalah mereka sendiri. Dalam KUM juga dibelajarkan
tentang bagaimana mengenali potensi lingkungan, bagiamana memanfaatkan potensi
SDA sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Lingkungan
merupakan sumber mata pencaharian terbesar, sehingga warga belajar harus
mengenal benar lingkungannya.
Pemberantasan buta aksara dengan
model KUM merupakan terapi yang efektif, karena konteks pembelajaran sangat
kontekstual, tematik dan akrab dengan warga belajar. Jenis dan tema-tema
belajar sepenuhnya diserahkan kepada warga belajar. Peran tutor lebih bersifat
fasilitator, memfasilitasi kebutuhan belajar mereka. Penerapan model KUM secara
utuh, sesungguhnya mampu menciptakan wirausahawan baru, mencetak warga
masyarakat yang tangguh dan mandiri. Produk-produk ketrampilan usaha yang telah
dipelajari dan dijual ke pasar, merupakan modal utama menuju kemandirian.
Hasil-hasil usaha tersebut kemudian berkembang, dan akhirnya mampu
memberdayakan satu sama lainnya. Dengan kata lain, bahwa KUM merupakan
instrumen yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan yang selama ini
mendera para penyandang tuna aksara dapat diatasi dengan model penguatan
keaksaraan dalamprogram KUM.
Terapi pengentasan kemiskinan
melalui pencetakan wirausahawan baru dalam program KUM dapat dilakukan secara
efektif jika (1) model pembelajaran dalam KUM memegang teguh
prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa, dan ini harus dipahami secara utuh
oleh para tutor KUM, (2) prosentase pembelajaran teori dan paktek harus
memadai, dalam pembelajaran yang bersifat teori seperti pengenalan huruf,
angka, dan cara menuliskannya harus dilakukan secara menyenangkan dan tidak
membebani warga belajar, demikian juga pada kegiatan praktek, semua warga
belajar harus terlibat, sehingga prosentase pembelajaran menjadi sangat
situasional bisa 20% teori 80% praktek, bisa 10% teori 90% praktek bahkan bisa
40% teori dan 60% praktek, (3) jenis ketrampilan fungsional yang dibelajarkan
adalah jenis ketrampilan yang sesuai dengan potensi lokal, ketersediaan bahan
di lingkungan, minat dan kebutuhan belajar peserta didik, dan juga harus
mempertimbangkan peluang pasar, apakah semua produk ketrampilan tersebut laku
tidak dijual, dimanti oleh pembeli tidak, dan (4) kurikulum pembelajaran harus
kontekstual, tematik dan bersifat fleksibel. Bahwa tema-tema dan materi
pembelajaran, isi, bentuk, jenis, dan modelnya, haruslah memerhatikan kebutuhan
peserta didik, dan haruslah dekat dengan mereka.
Munculnya Simpul Usaha
Kharakteristik dari KUM adalah
adanya produk ketrampilan, misalnya keripik gadung, jamur merang, asinan
mangga, dodol rumput laut dan lain-lain. Jenis ketrampilan tersebut muncul atas
dasar ketersediaan bahan-bahan pokok, sehingga dimungkinkan pengembangan
ketrampilan tidak “mengimpor” bahan dari luar. Ketrampilan telur asin misalnya,
tentunya karena potensi ternak bebek sangat besar, sehingga tidak takut akan
kekurangan bahan dasar membuat telur asin, yaitu telur bebek. Terbangunnya
kontinunitas pengembangan usaha yang dilakukan oleh para peserta diidk
KUM akan mendorong munculnya simpul-simpul usaha ketrampilan didesa-desa
tersebut. Sehingga desa dengan sentra-sentra usaha khas akan tumbuh, misalnya
desa dengan sentra usaha telur asin, sentra usaha kerupuk udang, sentra usaha
asinan mangga. Inilah yang penulis maksud dengan simpul usaha. Tentunya, kondisi
ini bukan hal yang mustahil terjadi, jika program KUM dilaksanakan dengan baik
dan benar. Artinya semua pengelola atau penyelenggara program KUM yang
dilakukan oleh satuan PNF seperti PKBM, majelis tak’lim dan kejar pendidikan
keaksaraan, harus melaksanakan program secara profesional, dengan niat untuk
memberdayakan masyarakat.
Memunculkan simpul usaha dalam
bentuk sentra-sentra usaha memiliki efek yang luar biasa diantaranya adalah (1)
meningkatnya kesejahteraan masyarakat, (1) mendorong kemandirian dan ketahanan
suatu desa, (3) mendorong terbentuknya wisata kuliner, dan (4) meningkatkan
eksistensi program KUM. Model pembelajaran pada KUM jika benar-benar diterapkan
secara partisipatif, berprinsip pada andragogi dan ketrampilan fungsional yang
berbasis pada ketersedian sumber daya alam serta peluang pasar, maka KUM dapat
dijadikan media efektif untuk mengentaskan kemiskinan baik fungsional maupun
struktural. Program KUM yang merupakan bagian dari layanan pendidikan
nonformal, harus selalu berbasiskan pada masyarakat. Layanan PNF yang demikian
akan membentuk masyarakat pembelajar (learning society) yaitu masyarakat
yang dinamis, kreatif, tidak bisa diam karena memang sibuk dengan kegiatan
belajar yang positif. Sebuah masyarakat yang saling memberdayakan dan
menguatkan satu sama lain, menuju masyarakat yang madani.
Kesimpulan
Program KUM adalah program yang
bertujuan ganda yaitu (1) menguatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung
dan (2) meningkatkan kesejahteraan melalui penguatan ketrampilan fungsional.
Penyandang tuna aksara memiliki dua jenis kemiskinan yaitu kemiskinan
pengetahuan dan kemiskinan fungsional. Kemiskinan pengetahuan berupa membaca,
menulis dna berhitung dan kemiskinan fungsional yaitu tidak memiliki
ketrampilan yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mencari mata pencaharian
atau peningkatan ekonomi. Dua jenis kemiskinan tersebut, dapat diatasi dengan
program KUM. Implementasi program KUM , akan mampu mendorong munculnya
wirausahawan yang tangguh dan mandiri sehingga akan terbangun sentra-sentra
usaha yang potensial seperti sentra usaha kerupuk udang, dodol nangka, manisan
sawo, telur asin dan lain-lain. Penulis yakin, masyarakat akan lebih sejahtera
dan berpenghidupan lebih baik, jika setiap desa mengembangkan program
KUM,karena yang menjadi sasaran KUM bukan saja para penyandang buta aksara
tetapi juga para aksarawan baru.
Penulis adalah Pamong Belajar SKB
Bima Nusa Tenggara Barat. Tulisan Ketua Pengurus Daerah Ikatan Pamong Belajar
Indonesia Provinsi NTB ini banyak menghiasi media cetak lokal di Mataram atau
Nusa Tenggara Barat.
http://fauziep.com/mencetak-wirausahaan-baru-melalui-keaksaraan-usaha-mandiri/
Advertisement
Loading...